Indolinear.com, Jakarta - Mantan petinggi Facebook, Chamath Palihapitiya belum lama ini mengungkapkan kegelisahannya tentang dampak negatif dari media sosial. Ia mengatakan, media sosial sejatinya telah merobek struktur hidup dalam bermasyarakat. Penggunaan fitur yang disematkan sebagai 'kode' interaksi seperti; like, love, maupun jempol, seakan-akan menjadi candu bagi para penggunanya.

Menilik hasil kajian secara ilmiah yang disampaikan Chamath, media sosial telah terbukti menjadikan para penggunanya memiliki psikologis gila 'penghargaan' dari sesama pengguna. Candu inilah yang membuat pengguna media sosial lebih aktif mengaktualisasikan diri mereka di media sosial.

"Dan ini adalah masalah global," katanya.

Kekhawatiran dampak negatif dari era media baru komunikasi, pada dasarnya adalah hal yang lumrah. Masalahnya, setiap kemunculan perkembangan media baru berkomunikasi, ada yang terlepas dari kebiasaan dalam berperilaku sebelumnya. Permasalahan itu sebenarnya telah tercatat dalam sejarah setiap kali muncul perkembangan teknologi komunikasi dan informasi.

"Itu hal yang wajar. Karena dalam sejarah perkembangan teknologi komunikasi dan informasi manusia, sesuatu teknologi pasti akan banyak mengubah struktur dan interaksi sosial," ujar pengamat media sosial Ruli Nasrullah.

Kendati begitu, Ruli sepakat dengan mantan petinggi Facebook itu yang mengatakan pengguna media sosial lebih rentan terkena dampak psikologis. Dampak psikologis ini, tak hanya membayangi masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan rendah.

"Bahkan yang well educated juga bersoalan dalam perilaku bermedia sosial," kata dia.

Maka itu, seiring kemajuan zaman, media sosial akan tetap menjadi medium baru dalam berkomunikasi. Artinya, keberadaaan media sosial pun tak bisa dibendung. Hanya saja, kompleksitas kekhawatiran di media sosial, semestinya juga bebarengan dengan memberikan pemahaman berperilaku di ranah siber.

Sebagaimana diketahui, siapapun itu dapat dengan mudah membuat akun media sosial. Menyembunyikan jati dirinya, menampilkan karakter sesuai dengan yang diinginkan. Bisa saja dengan identitas yang tersembunyi, melakukan ujaran-ujaran kebencian.

"Yang paling penting itu, literasi digital. Literasi digital di lingkungan keluarga, sekolah, bahkan pemerintah sendiri. Ini kan menjadi persoalan serius," jelasnya yang juga sebagai dosen di UIN Jakarta.

Hal senada juga diutarakan oleh pengamat media sosial, Enda Nasution. Katanya, tak selalu media sosial berdampak negatif. Ada hal-hal yang membuat media sosial itu memiliki sisi positif. Seperti, pendidikan, bisnis, bahkan pengembangan diri.

"Pemilik platform harus sadar apa yang terjadi di layanannya, dan stop memberikan insentif yang mendorong orang untuk share hal-hal negatif. Penggunanya juga harus makin pinter dan juga organisasi-organisasi civil society dan pemerintah mengawasi," ungkapnya. (Uli)