Indolinear.com, Jakarta - Lembaga DPD RI ingin, posisinya sejajar dan setara dengan DPR, dalam kewenangan menyusun dan membuat UU. Sehingga ruang geraknya dalam upaya memperjuangkan kepentingan daerah menjadi maksimal di kerjakan dan dilakukan, dalam fungsi anggaran, legislasi dan pengawasan. Sebagaimana kewenangan DPD ini di atur dalam pasal 22 D UUD NRI Tahun 1945.

Pengamat Politik dari Universitas Parahiyangan, Prof Asep Warlan mengatakan, bahwa peran DPD sesungguhnya sudah ditingkatkan oleh putusan MK, sehingga DPD bisa mengajukan rancangan undang-undang ke DPD dan DPR, lalu dibahas bersama-sama.

" Meski dalam hal pengambilan putusan tetap wewenangnya DPR," ujar Asep saat dihubungi.

Meski demikian, jika memang DPD ingin memperkuat lagi perannya, menurut Asep, DPD juga harus meningkatkan peran manajerialnya. Dimana manajerial politik untuk bersuara dan berpendapat seharusnya digunakan anggota. Selain juga peningkatan proses pembahasan RUU, pengajuan RUU hasil penyerapan aspirasi Daerah dan memperbaiki komunikasinya.

"Kinerja legislatif yang kuat akan terlihat jika manajerial politik yang baik. Peningkatan manejerial politik tersebut harus dibangun dan disetujui oleh anggota DPD serta bekerja bersama presiden dan DPR. Seihngga DPD RI harus mampu membangun manajemen politik, mampu mengelola dan memperjuangkan kepentingan politiknya di DPR RI. Anggota DPD RI juga harus mampu menggunakan hak bicaranya, dan jangan merasa dirinya independen. Khususnya terkait dengan UU, anggaran maupun pengawasan," tegasnya.

Seharusnya, DPD RI berusaha keras untuk bisa membahas UU itu secara maksimal bersama DPR RI dan pemerintah. Dan pembangunan manajerial politik menjadi penting dengan meningkatkan visi dan kemampuan politik seluruh anggota DPD RI yakni sebanyak 132 anggota dari 33 provinsi.

" Aggota DPD RI memiliki kualitas yang baik karena mereka umumnya adalah para tokoh di daerahnya, tapi persoalannya mereka bergerak sendiri-sendiri di DPD RI tidak ada lembaga seperti fraksi di DPR RI, sehingga seperti tidak ada arah. Karena itu, dengan peningkatan kemampuan anggota dengan kelembagaan seperti fraksi, maka akan semakin terarah," tegasnya.

Dalam kesempatan ini, Asep pun mengingatkan terhadap posisi Ketua DPD RI yang di isi oleh anggota DPD RI tetapi juga merupakan Ketua Partai (Hanura). Sehingga kondisi ini potensi membingungkan rakyat. Sebab, lembaga DPD dihadirkan dari suara perwakilan daerah, yang berasal dari tokoh-tokoh setempat, non partai.

" Sehingga kalau sekarang ketua DPD di isi oleh seorang Ketum Hanura, mohon maaf ini, bisa membingungkan masyarakat. Karena DPD bisa kehilangan orientasi politiknya. Karena memang DPD ini di lahirkan untuk tujuan memperjuangkan kepentingan Daerah, yang berasal dari kalangan non partai,"tegasnya.

" Ini bukan saja membingungkan masyarakat. Tetapi juga bisa menciderai kewibaan dari pada Lembaga DPD itu sendiri," imbuhnya.

Sebelumnya Ketua Lembaga Pengkajian MPR RI Rully Chairul Azwar mengungkapkan, bahwa dari hasil kajian sementara Lembaga Pengkajian MPR RI terkait daerah, ternyata peran pemerintahan daerah masih belum efektif dalam rangka memperjuangkan kepentingan daerah di tingkat nasional.

Adapun hasil kajian MPR untuk memperkuat lembaga DPD adalah;
Pertama, Meningkatkan kerjasama kelembagaan yang sinergis antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, serta antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sesuai UUD NRI Tahun 1945.

Kedua, Memantapkan pelaksanaan kewajiban konstitusional DPD RI yang meliputi pemantapan fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan, khususnya dalam penetapan dan pengawasan Dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa.

Ketiga, Untuk itu perlu dibentuk undang-undang tentang susunan dan kedudukan DPD sebagai lembaga perwakilan daerah sebagaimana ditentukan dalam UUD NRI Tahun 1945.

Keempat, Lain dari itu diperlukan pula perubahan berbagai undang-undang, antara lain sebagai berikut. (a). UU No. 17 Tahun 2014 jo UU No. 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPR dan DPRD. (b). UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. (c). UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. (d). UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. (e). UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan. (Uli)