Indolinear.com, Jakarta - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Selasa (23/1) lalu, mulai membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Hukum Adat, dengan agenda mendengar pandangan fraksi-fraksi atas Draf RUU Masyarakat Hukum Adat.

Dalam kesempatan tersebut, juru bicara FPKS DPR Hermanto menegaskan, RUU Masyarakat Hukum Adat harus menguatkan kepemilikan hukum adat. Bukan menghapus dan atau melepas dengan imbalan kompensasi.

"RUU Masyarakat Hukum Adat semestinya menguatkan peran negara dalam hal memberikan perlindungan dan menumbuh kembangkan budaya, perilaku, nilai dan kepemilikan atas tanah", papar Hermanto.

Saat ini RUU Masyarakat Hukum Adat masih dalam proses harmonisasi di DPR. "Walaupun RUU ini masih dalam proses harmonisasi, namun sejak dini DPR harus sudah memberikan klausul pengaturan secara eksplisit mengenai tidak terhapusnya hukum adat terutama terkait dengan hak kepemilikan tanah adat", tuturnya.

Pembahasan RUU ini harus dilakukan secara teliti. "Perlu ada uji publik dan masukan dari pakar serta kaum adat untuk menyempurnakan substansi guna menjaga keutuhan NKRI", ucapnya.

Hal tersebut, lanjutnya, karena setiap daerah di Indonesia memiliki hukum adat yang berbeda yang tidak dapat diseragamkan.

"Sebagai contoh adat Minangkabau di Sumatera Barat. Masyarakatnya, melalui ninik mamak, memegang teguh hukum adat. Pengaturan kepemilikan tanah disana, secara prinsip seluruh kawasan tanah di Sumatera Barat merupakan tanah ulayat yang didukung tradisi adat yang sampai sekarang masih komplit, tumbuh dan berkembang", jelas legislator dari dapil Sumatera Barat I ini.

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18b ayat (2) dan pasal 28i ayat (3) menyebutkan, Negara berkewajiban untuk mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional yang melekat padanya dalam Kesatuan Negara Republik Indonesia. Pengakuan Negara terhadap eksistensi masyarakat adat, dipertegas melalui Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 45/PUU-X/2012 terkait ketentuan posisi hutan adat dalam Undang-Undang Kehutanan dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Konsekuensi dari Putusan tersebut, Hutan Adat dikeluarkan dari Hutan Negara dan masuk dalam kategori Hutan Hak didalam kawasan hutan.

Namun implikasinya, menurutnya, tidak serta-merta memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Bahkan masyarakat adat secara tidak langsung pelan-pelan dihapus hak-hak tradisional adatnya. Tanah adat mereka diambil alih dengan mengabaikan hukum adat untuk dijadikan sebagai hutan negara, perkebunan sawit, perindustrian, pertambangan, migas, dan seterusnya.

"Maka tidak mengherankan apabila banyak terjadi kasus-kasus sengketa tanah antara Masyarakat Adat dengan Perusahan Swasta dan Masyarakat Adat dengan Negara", ujarnya.

Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) mendata lebih dari 200 kasus korban kriminalisasi terhadap warga dan pemimpin masyarakat adat yang memperjuangkan wilayah adat mereka dan pada akhirnya dijebloskan kedalam penjara.

"Kami memandang bahwa Negara belum sepenuhnya mengakui dan menghormati kebhinekaan hukum dan lembaga adat khususnya dalam konteks penyelesaian sengketa wilayah adat", tegasnya.

"Berdasarkan pertimbangan di atas, maka Fraksi Partai Keadilan Sejahtera menilai sudah saatnya Negara serius secara tegas untuk mengakui, menghormati dan melindungi masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, melalui penyusunan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat", pungkasnya. (Uli)