Indolinear.com, Yogyakarta - Di tahun 2010, letusan dahsyat Gunung Merapi meluluh lantakkan beberapa desa di sekitar lerengnya. Gunung yang terletak di perbatasan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta serta Jawa Tengah ini letusannya menimbulkan banyak korban jiwa. Terhitung, data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 341 orang menjadi korban jiwa.

Tepat pada Selasa 26 Oktober 2010, menjadi hari di mana sang juru kunci Merapi ikut menjadi korban jiwa dari letusan dahsyatnya. Sempat terjadi tiga kali letusan, awan panas atau wedhus gembel keluar mengarah ke Desa Kinahrejo dan membuat Mbah Maridjan sang juru kunci terenggut nyawanya seketika karena awan panas.

Kemudian pada hari Jumat 5 November 2010, letusan dahsyat kembali terjadi. Kali ini letusan menyapu sejumlah desa yang berada di sisi selatan lereng Merapi. Salah satunya adalah Dusun Petung, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

Semua rumah di dusun itu hancur disapu awan panas, termasuk rumah milik Sriyanto dan rumah kedua orangtuanya yang berlokasi tepat di sampingnya. Empat bulan pasca erupsi, Sriyanto mencoba mengumpulkan sisa-sisa harta di rumahnya itu yang rusak akibat letusan Gunung Merapi. Saat itu, rumahnya hanya tinggal dinding dan beberapa harta yang meleleh. Sementara, rumah orangtuanya hanya tinggal lantai saja.

Sriyanto mengungkapkan kepada brilio.net bagaimana awalnya ia membangun rumahnya menjadi Museum Mini Sisa Hartaku, dilansir dari Brilio.net (30/07/2018).

"Saya sempat dipikir gila sama orang-orang, Mbak. Soalnya ngumpulin tulang-tulang sapi saya, sisa-sisa harta saya. Banyak yang mikir saya gila karena harta saya habis gara-gara Merapi. Tapi saya cuekin dan mikir, ada tiga hal yang membuat saya tergerak bangun museum ini. Pertama, rasa keprihatinan karena semua harta saya habis akibat bencana. Kedua, rasa penasaran ke mana sisa-sisa harta saya setelah kena awan panas. Ketiga, sebagai bukti sejarah karena ada jam saya saat kejadian. Awalnya iseng aja, ngumpulin sisa harta untuk kenang-kenangan keluarga."

Sriyanto juga mengungkapkan kalau bencana letusan Merapi itu membuat hidupnya kembali dari nol. Ia harus tinggal di rumah relokasi yang jaraknya beberapa kilometer dari rumah yang kini jadi tempat wisata itu. Untuk memenuhi hidupnya, Sriyanto pun membuat warung-warung kecil di sekitar Museum Mini Sisa Hartaku.

"Saya berencana untuk memprakaryakan keluarga sendiri. Warung-warung di sini kebanyakan diisi sama keluarga saya sendiri yang juga ikut jadi korban. Ya penghasilan saya untuk sehari-hari dari sumbangan sukarela pengunjung sama warung ini, Mbak," ungkapnya.

Ada kisah menarik yang dituturkan oleh Watinem, ibu dari Sriyanto. Wanita paruh baya itu mengungkapkan cerita suaminya sebelum terjadi letusan Merapi terjadi.

"Mbah lanang udah punya firasat jauh hari, ya kira-kira abis lebaran tahun 2010 kalau Merapi akan meletus. Si mbah lantas menjual beberapa pohon dan satu ekor sapi buat beli mobil. Niatnya, biar kalau merapi meletus bisa pergi sama-sama nggak mencar. Dan akhirnya terbukti, kita semua pergi mengungsi naik mobil sama-sama," ungkap Watinem. (Uli)