Indolinear.com, Jakarta - Junyo Maru dijuluki 'kapal neraka', dengan fasilitas tak layak dan para awak yang kejam dan beringas. Pada tanggal 14 September 1944, 6.500 orang dikirim ke sana.

Para penumpangnya adalah 2.300 tawanan perang Belanda, Inggris, Australia, Indonesia, dan Amerika Serikat. Sisanya 4.200 pribumi atau kuli Jawa yang dijadikan romusha untuk menggarap jaringan kereta api di Sumatera yang digunakan untuk mengangkut batu bara yang akan dikapalkan ke Singapura.

Kondisi di kapal milik Kekaisaran Jepang itu sungguh tak manusiawi. Nyaris tak ada air minum untuk melepas dahaga, fasilitas jamban tidak disiapkan, kecuali beberapa kotak yang diedarkan untuk buang hajat.

Tahanan di dek atas terpapar angin dan hujan di malam hari, serta terik matahari tropis yang brutal sepanjang siang. Lainnya bak terpanggang di oven baja di bawahnya.

Mereka yang sakit, lemah, dan kurus tinggal bersesak-sesakan. Tempat tidur terisi penuh oleh mereka yang tak berdaya. Sejumlah tahanan hanya bisa berdiri, yang lain jongkok.

Seperti dikutip dari Liputan6.com (23/06/2018), sebelum kapal berlayar, bau tubuh dan kotoran manusia amat menyengat. Banyak tahanan menderita malaria atau disentri, bahkan keduanya. Beberapa meninggal, yang lainnya tak lagi waras, jadi gila.

Tak ada perlengkapan penyelamat diri dalam kapal itu. Hanya beberapa rakit yang ditumpuk di dek. Jaket pelampung disediakan khusus bagi para kelasi dan perwira Jepang.

Dua hari kemudian, Junyo Maru berlayar dari Tanjung Priok, Batavia (Jakarta), melewati Gunung Anak Krakatau, menyusuri pantai barat Sumatera, menuju Padang.

Namun, di tengah perjalanan, bahtera nahas itu ditorpedo kapal selam Inggris HMS Tradewind di perairan dekat kota Muko Muko, Bengkulu.

Penyerang tak mengetahui, kapal milik Kerajaan Jepang itu mengangkut tawanan perang. Sebuah torpedo menghantam bagian depan kapal, satu lainnya menghantam buritan.

Awalnya, para tahanan mengira, ledakan terjadi di ruang boiler. Tak lama kemudian, sirene meraung-raung, pertanda marabahaya.

Kapal barang itu mulai tenggelam, diawali dari buritan. Panik pun terjadi. Para tahanan di bawah hanya memiliki satu tangga besi untuk lari. Mereka berebut, perkelahian pun pecah.

Sejumlah orang terdengar menyanyikan lagu kebangsaan Belanda, 'Wilhemius'. Pun lantunan tembang 'Ambon, Haroekoe Saparoea' berkumandang. Lainnya melontarkan sumpah serapah, berteriak panik, atau berdoa.

Ledakan kuat kemudian terjadi, Junyo Maru tenggelam ke laut. Buih merah muncul saat buritan kapal masuk ke air. Bukan dari darah, tapi dari daun merah yang ditimbun di gudang.

"Aku melihat kapal tenggelam. Di dek depan, para romusha yang tak bisa berenang berjatuhan saat Junyo Maru dalam posisi nyaris vertikal dan kemudian menghilang ke dalam laut," kata salah satu tawanan perang, Willem Punt seperti dimuat dalam buku, The Sumatra Railroad: Final Destination Pakan Baroe, 1943-1945 karya H. Hovinga.

Junyo Maru binasa di laut pada 18 September 1944 di Samudera Hindia. Sebanyak 5.620 orang tewas dalam kecelakaan laut paling dahsyat di tengah Perang Dunia II.

Korban selamat bertumpu nyawa pada rakit dan puing kapal. Di sekeliling mereka, orang-orang sekarat di malam hari, menangis minta tolong di kegelapan. Lolongan putus asa bersahutan, tapi tidak ada bantuan datang.

Saat fajar, kapal korvet Jepang kembali, menarik mereka yang masih hidup dari air. Sisanya hilang.

Mereka yang selamat tak lantas lega. Sebanyak 680 orang penyintas dipaksa mengerjakan jaringan rel kereta Pekanbaru yang membentang sejauh 220 kilometer.

Salah satu korban yang selamat menulis, hanya 96 tawanan yang bertahan hidup. Tapi tak ada satu pun korban selamat di antara para romusha yang malang. (Uli)