Oleh : Moh. Ali Fadillah

Sejarah Milik Laki-Laki

Sejatinya perempuan hadir pada setiap titik waktu sejarah, dan juga dalam ruang budaya Nusantara. Namun eksistensinya sering tersembunyi di balik kekuasaan dan keperkasaan laki-laki. Maka ada alasan, mengangkat tema perempuan dalam sejarah menjadi penting. Tetapi untuk itu perlu keberanian lebih.

Penyebab utamanya adalah kelangkaan sumber informasi. Kalau sembrono, niscaya kita akan terperosok pada perangkap mitos, atau setidaknya hanya untaian kisah yang miskin makna. Bisa pula, tulisan ini pun ahistoris. Jika gegabah mencerna, malah bisa membelenggu kecerdasan.

Berbagai seminar kerap diselenggarakan, oleh kelompok profesi, lembaga pemerintah ataupun non-pemerintah. Namun fenomena sejarah yang disajikan sering sekadar latar belakang untuk memperkuat dasar pemikiran upaya peningkatan peran wanita dalam segala kontemporenitas. Kendalanya terletak pada dua hal. Pertama, fakta-fakta kelampauan itu belum teruji kebenarannya dalam pengerjaan sejarah yang standar. Dan kedua, karena belum banyak monografi tentang perempuan dalam khazanah kepustakaan sejarah Indonesia, tidak pula Banten.

Kendati begitu, semangat kesetaraan gender tak pernah berhenti dalam gagasan mainstream. Berbagai upaya emansipasi terus dikampanyekan dalam beragam aktivitas, baik berupa pengkajian, tindak budaya, seminar maupun penerbitan dalam berbagai media. Namun harus dikatakan, semangat itu belum banyak menarik minat peneliti atau peminat sejarah.

Boleh dibilang, riset sejarah tentang perempuan masih berjalan lamban. Pasalnya, banyak kajian lebih menonjolkan peran laki-laki. Maka wajar timbul adagium 'sejarah milik laki-laki'. Apakah ini berangkat dari kenyataan bahwa dalam historiografi Indonesia, protagonis selalu diperankan oleh laki-laki: dalam sejarah politik, ekonomi atau sosial? Tetapi harapan selalu ada. Jika pada tataran kehidupan modern ada gerakan gender, terpikir dalam sejarah pun ada emansipasi.

Namun kesulitan kerap menghadang. Kendati wanita hadir dalam sejarah, mengikuti dinamika ruang waktu, tetapi nyaris selamanya, sekadar figuran. Mereka 'ada' dalam sejarah, tetapi 'adanya' sering terabaikan, dalam bayang-bayang popularitas laki-laki. Maka disinilah laki-laki menjadi dominan dalam sejarah.

Oleh karena itu ada ekspektasi, menulis sejarah bertemakan gender dalam perspektif ini dapat membangkitkan apa yang disebut the silent history. Hanya dengan semangat itu, citra wanita, setelah lama hidup dalam kesunyian historis, bisa dipanggungkan kembali. Kisahnya mungkin sudah memosil dalam bentuk manuskrip, entah itu babad, cariosan, pepeling, legenda atau mitos sekalipun; mestinya segera dibaca ulang dan diungkapkan dalam kearifan yang logis.

Dalam posisi manapun, peran apapun, praksis atau simbolik, semua fakta memiliki hak yang sama untuk dihadirkan. Dan tentu saja ditulis ulang! Soalnya, mampukah kita menjelaskan struktur mental setiap historical event itu? Dan, apakah semudah itu kita memaknai setiap peristiwa?

Salah satu faktor yang menyulitkan sejarawan bekerja adalah masih banyak sumber sejarah Banten berupa manuskrip. Ada banyak fakta, nyata atau terselubung, sekurang-kurangnya dalam tiga bahasa: Jawa, Melayu dan juga Sunda. Sudah tentu dengan berbagai dialek pula. Ketiga bahasa itu dipakai untuk menggambarkan bermacam pemikiran, berbagai perilaku, biografi dan peristiwa penting lain yang pernah terjadi di seluruh Tanah Banten.

Penulis Adalah Anggota Banten Heritage