Oleh : Moh. Ali Fadillah

Perempuan dalam manuskrip dan dongeng

Menelisik peran perempuan, sekali lagi harus dikatakan, kita selalu dihadapkan pada kelangkaan sumber. Maka apabila terlalu berharap pada manuskrip dalam lingkup historiografi tradisional, niscaya kita tidak akan mendapatkan banyak informasi. Oleh karena itu dalam tulisan ini, sumber-sumber sejarah yang dipergunakan selain berupa manuskrip yang terdiri dari Babad Banten (Sajarah Banten), juga tradisi lisan (oral tradition) dan data artefaktual (dakon, batu lumpang, batu pipisan, tembikar, pelandas) serta beragam asesoris (manik, perunggu, perak dan emas).

Mari mulai dari fakta arkeologi, data yang diasumsikan berada pada lapisan bawah dalam strata waktu. Berlangsung sejak masa prasejarah, sekitar abad V Sebelum Masehi sampai awal abad Masehi, kita memiliki sejumlah besar tinggalan batu besar dalam konteks 'budaya' megalitik di berbagai situs di pegunungan.

Selanjutnya sumber tertulis Babad Banten, selesai ditulis antara tahun 1663-1667, memulai tuturan dari kedatangan Syarif Hidayatullah bersama puteranya Hasanuddin ke Banten Girang. Setelah kunjungannya ke pusat suci pra-Islam di pedalaman: Gunung Karang dan Pulosari, mereka mendapatkan legalitas spiritual untuk mendirikan kerajaan di muara Cibanten.

Manuskrip ini mengakhiri kisahnya saat kejatuhan Banten ke tangan VOC setelah melalui peristiwa heroik masa akhir Sultan Ageng (1682). Sekurang-kurangnya, sampai periode itu terdapat lima figur kepemimpinan yang pernah berkuasa di Banten. Dan pada setiap periode, ada penggambaran detil-detil peristiwa penting yang disajikan dalam bentuk tembang; kinanti, asmarandana, pangkur dan lainnya.

Selain Babad Banten, kisah yang lebih tua lagi diberikan oleh beberapa manuskrip berbahasa Sunda tua, semisal Carita Parahyangan dan juga Jawa madya asal Cirebon; karya Pangeran Wangsakerta misalnya. Manuskrip ini bisa jadi ilustratif, tetapi membantu kita mengungkapkan aspek genealogis pengasas dinasti Banten, Sunan Gunung Jati sebagai pewaris dari garis dinasti Sunda. Hasil perkawinan antara Sunan Gunung Jati dengan puteri raja Pajajaran telah melahirkan Hasanuddin yang kemudian ditahbiskan sebagai raja Banten pertama.

Dan sumber lain, sebut saja buah tangan P.A. Achmad Djajadiningrat yang telah diterbitkan dalam bahasa Belanda dan Jawa. Tulisan yang diberinya judul: Herrineringen van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (1936) mengisahkan sosok Achmad Djajadiningrat kecil yang mendapatkan pendidikan Belanda di Batavia, namun tidak melupakan adat istiadat dan tradisi kebantenannya.

Di sini, kita juga tidak dapat mengabaikan folklore, yang tetap hidup dalam mitologi pedalaman Banten. Tradisi lisan itu memuat kisah dan peran penting dari seorang tokoh perempuan bernama Nyi Pohaci atau disebut juga Sanghyang Sri. Juga ada tradisi lisan yang berasal dari lembah Gunung Pulosari dan Gunung Karang tentang pengasas pemukiman tua yang digagas oleh Nyi Wangi dan Ki Mandala. Dan terakhir, mungkin pula menarik untuk menyimak dongeng lain, Nyi Anteh, Sang Penunggu Bulan. Atau juga Puteri Arum dan Ki Pande, tradisi lisan yang mengisahkan sosok perempuan dan laki-laki, terasosiasi dengan pekerjaan pertanian, logam dan juga tradisi menenun.(Bersambung)

Penulis Adalah Anggota Banten Heritage