Oleh : Moh. Ali Fadillah
Kiprah Sosial-Politik Perempuan
Perjalanan sejarah Banten memang tak selamanya lurus. Ada saat di mana kejayaan Banten mengalami tikungan tajam pada beberapa kali suksesi, yang diawali dengan krisis tahta saat Pangeran Muhammad gugur dalam peperangan melawan Palembang (1596). Soalnya adalah pewaris tahta, Abdul Mafakir belum cukup dewasa, maka jalan perwalian menjadi tantangan berliku dalam sejarah Banten, sampai ditetapkannya penguasa baru.
Dalam bentang waktu penumbuhan kesultanan (1596 – 1609), seorang 'wali raja' harus menempati posisi raja. Mengutip Babad Banten, Tiele (1871) menceritakan kembali bahwa Kiai Mas Patih Mangkubumi menjadi wali raja (regent). Sebenarnya ia hanyalah seorang tumenggung yang memegang jabatan Patih Jaba, meminjam istilah Claude Guillot (1992), sebagai Perdana Menteri Eksternal, "orang biasa" yang diserahi tugas urusan ekonomi perdagangan dan politik luar negeri. Setelah kembali dari medan perang melalui darat, ia diresmikan menjadi wali dengan persetujuan kadi, pemegang otoritas keagamaan tertinggi dalam struktur pemerintahan Banten (Djajadiningrat, 1913).
Kedudukan itu bisa diraihnya karena dianggap berpengalaman. Tetapi jangan lupa, bahwa ialah yang mengawini anak perempuan dari Hasanudin (Ratu Wetan); menantu penguasa pertama. Dengan perkawinan itu, diasumsikan bahwa sang wali-raja memiliki legitimasi karena telah masuk ke dalam garis kekerabatan raja, tegasnya dari golongan sentana.
Namun setelah wafatnya, tiba-tiba terjadi perubahan radikal, pasalnya ia digantikan oleh saudara lelakinya, yang dipandang tidak cakap. Dalam kekisruhan inilah tampil Nyai Gede Wanagiri, isteri mendiang Maulana Muhammad, memutuskan untuk memimpin perwalian itu. Artinya ia menggantikan posisi Kiai Mas Patih. Dan apa yang dikisahkan Babad Banten menandai kemunculan Nyai Gede Wanagiri yang lebih dikenal dengan sebutan Ibu Ratu pada posisi politik tertinggi. Perisitwa ini membawa kita pada proposisi bahwa ia hadir untuk mendinginkan tensi sosial. Dalam posisi sepenting itu, penasehat istana menyarankan agar ia menikah lagi dengan Pangeran Camara (Purchas, 1625). Melalui cara itulah, seorang perempuan bisa menjadi regent.
Seorang Belanda, Rochus Pieterszoon yang berkunjung ke Banten (1596) menceritakan, bahwa pengambilalihan posisi perwalian oleh Ibu Ratu diawali oleh kekisruhan internal sebelumnya (De Jonge, 1921). Bisakah ini ditafsirkan bahwa pergantian wali itu terjadi akibat reaksi klan 'pangeran' menghadapi peran dominan golongan ponggawa?
Dari sumber-sumber yang saling mengisi itu, cukuplah bagi kita untuk mengatakan bahwa sesungguhnya peran Nyai Gede Wanagiri, selaku permaisuri mendiang raja, menjadikan dirinya sebagai tokoh paling senior ketika krisis tahta terjadi (Colenbrander, 1920). Dan tak dapat disangkal, kemunculannya menandai kewibawaan seorang perempuan dalam menyelesaikan konflik internal di keraton Banten.
Tetapi lain halnya dengan peristiwa belakangan, ketika kesultanan Banten berada di bawah pengawasan Batavia. Didampingi oleh permaisuri keturunan Arab, Syarifah Fatimah, sultan berada dalam ambiguitas kekuasaan saat mengemban tugas. Kemunculan peran Ratu Syarifah itu justeru membawa kegalauan politik bagi Banten, karena ia dianggap tokoh yang disusupkan pemerintah Belanda memasuki keraton Banten.
Perempuan itu besar di Batavia, begitu menurut sumber yang sampai kepada kita. Ia bergaul dengan komunitas Belanda, dan setelah bercerai dengan suami pertama, ia bekerja pada kantor dagang Belanda di Batavia. Tetapi konon, karena kecantikan, pengetahuan dan ketajaman pandangannya dalam bidang pemerintahan dan ekonomi perdagangan, kendati berlangsung tak lama, ia dapat memainkan peran sebagai permaisuri yang mampu mengendalikan pemerintahan di Banten sampai pada paruh pertama abad XVIII.(Bersambung)
Penulis Adalah Anggota Banten Heritage
0 Response to "[Pos baru] Kiprah Perempuan Banten : Kiprah Sosial-Politik Perempuan (5)"
Post a Comment