Oleh : Moh. Ali Fadillah

Kisah Perempuan Gerabah

Keberadaan sejumlah besar tinggalan megalitik mengindikasikan bahwa aktivitas manusia terikat dan masih bergantung pada lingkungan alam dalam memenuhi kebutuhan hidup. Dengan tinggalan berupa batu-batu dakon, lumpang dan pipisan serta gerabah, pengetahuan apa yang bisa diperoleh tentang perempuan pada masa itu? Setidaknya mengundang tafsir bahwa kegiatan perempuan di sini dapat diposisikan dalam fungsi feminin, yang terasosiasi dengan urusan daily life kelompok perempuan.

Perilaku keseharian perempuan dalam aktivitas di sekitar sumber air ditampakkan oleh bekas-bekas kegiatan menumbuk, menggerus, memipis biji-bijian atau dedaunan yang terutama untuk membuat boreh; pengetahuan lokal untuk obat luka, pemeliharaan kulit, atau umbarampe ritual spesifik. Lumpang batu, dakon dan pipisan memperlihatkan bekas pakai yang demikian rutin dipergunakan.

Tetapi untuk fragmen tembikar, pekerjaan dilakukan bukan hanya untuk memenuhi utilitas, namun bisa menjadi barang komoditas. Ada teori yang mengatakan bahwa pekerjaan berburu, mengumpul makanan dan bercocok tanam adalah pekerjaan laki-laki, ketika masih semi-sedenter ataupun setelah menetap dalam kelompok-kelompok pemukiman kecil, karena keharusan pekerjaan huma (ladang). Pekerjaan perempuan dalam perubahan ruang nyaris tidak berubah, selain mengurus rumah tangga, juga melanjutkan tradisi lama: membuat wadah tembikar atau gerabah.

Kegiatan ini berlanjut  sampai masa awal sejarah, ketika terjadi mutasi budaya dari tradisi berladang, ditandai penemuan teknologi sawah (tadah hujan atau irigasi). Meskipun beberapa golongan masyarakat mampu membeli wadah keramik impor tetapi kebutuhan wadah terracotta terus dipenuhi.

Beberapa situs di Banten Lama memberi bukti betapa peran perempuan sangat penting dalam pembuatan gerabah. Keindahan cita rasa feminin dengan dunia gerabahnya diakui sekarang telah memperlihatkan identitas seni kriya yang khas. Sebuah ingatan kolektif telah diabadikan melalui teater karya Nandang Aradea, dengan judul "Perempuan Gerabah". Itu juga bagian dari penghargaan terhadap daya juang perempuan.

Sampai abad XX, kegiatan feminin tersebut masih berlangsung di beberapa tempat. Di Cirebon misalnya, masih ada perkampungan yang secara tradisional disebut 'Panjunan'. Demikian pula Banten, terdapat toponim 'Panjunan', kampung pembuat gerabah (dyun). Dan sekarang tradisi itu diwarisi masyarakat Bumi Jaya, Ciruas, meskipun pekerjaan itu mulai tergantikan oleh laki-laki. Hasilnya, selain untuk dipakai sendiri, juga untuk komoditas perdagangan.

Dalam konteks itu pula, pekerjaan memintal dan menenun hampir selalu terasosiasi dengan perempuan. Sejumlah alat pintal dari tanah liat bakar pernah ditemukan di situs Banten Girang dan Banten Lama, membuktikan bahwa pada abad X Masehi telah ada spesialisasi itu. Keahlian ini telah diwarisi oleh masyarakat Baduy sekarang, bukti bahwa kerja tenun melekat pada perempuan! Kepekaan seni dan kreativitas mereka, tak pernah berhenti, untuk terus mengukir keindahan pada produk sandang.

Ditemukannya benda-benda perhiasan perunggu dan emas di Banten Girang dan Banten Lama menunjukkan perilaku perempuan yang selalu terasosiasi dengan karya estetik. Bakat seni pada tembikar dan kain tenun semakin ditunjukkan oleh kecintaan pada benda seni lain sebagai perhiasan diri, yang awalnya terbuat dari manik kaca dan kornelian, kemudian dibalut dengan bahan logam mulia untuk perhiasan tangan, telinga, dan leher.(Bersambung)

Penulis Adalah Anggota Banten Heritage