Indolinear.com, Jakarta - Masalah perdagangan orang banyak terjadi di Indonesia dan sebagaimana pada Tahun 2018 yang lalu, Indonesia khususnya salah satu propinsi sebagai pengirim Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri mendapatkan kado seratus delapan orang (108) Jenazah yang telah dikirimkan dari luar negeri. Baik dalam kondisi utuh maupun dalam kondisi tidak memiliki organ tubuh. Dari 108 Jenazah tersebut, seratus lima orang (105) merupakan Jenazah TKI non prosedural dan sisanya TKI prosedural.

Penyelesaian masalah perdagangan orang tidak terlepas dari proses penegakan hukum yang baik dalam menghentikan perdagangan orang di Indonesia. Namun yang menjadi masalah saat ini adalah proses penegakan hukum yang tidak berjalan dengan maksimal. Di mana proses peradilan pada kasus perdagangan orang tidak mengalami peningkatan atau dapat dikatakan "jalan di tempat" dan bahkan dapat dikatakan mengalami kemunduran.

Sebagaimana pada kasus yang saat ini sedang dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Batam, dengan terdakwa Paulus Baun alias Ambros dan Terdakwa J. Rusna, kasus ini menunjukan adanya ketidakadilan hukum bagi korban MS (16) dan juga bagi korban TPPO lainnya. Di mana pada persidangan yang dilaksanakan pada tanggal 29 Januari 2019 dengan agenda tuntutan pada terdakwa J. Rusna, Jaksa penuntut Umum (JPU) Samuel Panggaribuan menuntut saudara terdakwa dengan Tuntutan pidana kurungan selama 1 tahun 6 bulan.

Menyoroti persoalan ketidakdilan hukum bagi korban, Jaringan Nasional Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (JARNAS) yang merupakan salah satu jaringan yang dibentuk atas dasar kesamaan visi dan misi untuk penghapusan perdagangan orang di Indonesia menyampaikan keprihatinan atas kasus tersebut di atas. Dan memberikan sikap tegas kepada Kejaksaan Negeri Batam yang telah menuntut dengan tuntutan yang sangat ringan tanpa mempertimbangkan prinsip penerapan hukum yang sesuai dengan aturan hukum dan prinsip keadilan bagi korban.

JARNAS yang diketuai oleh Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, mengatakan bahwa proses peradilan pada perkara perdagangan orang pada kasus di atas, sangat memprihatinkan, karena JPU tidak menggunakan aturan hukum yang sesuai dan tepat.

"Pada kasus di atas, seharusnya JPU bisa menggunakan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) selain dari UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak," ujar Sara panggilan akrapnya, dilansir dari Kabarparlemen.com (24/02/2019).

Sara juga menyampaikan bahwa dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang sudah sangat jelas mengatur tentang pengertian perdagangan orang, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1, Pasal 2 (Dipidana paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp 120.000.000 (seratus dua puluh) juta dan paling banyak Rp 600.000.000, (enam ratus juta) rupiah. Sedangkan Pasal 17 jika tindak pidana dilakukan terhadap anak maka ditambah hukuman 1/3 (sepertiga).

"Dalam UUPA diatur pada Pasal 76F (dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun, dan denda paling sedikit Rp 60 (Enam puluh juta) rupiah dan paling banyak Rp 300.000.000 (Tiga ratus juta) rupiah dan juga dapat di juncto (jo) kan dengan Pasal 76I ataupun Pasal dari Undang-undang yang lainnya," tegas anggota Komisi VIII DPR RI ini.

Sara menambahkan, bahwa JARNAS menyampaikan keprihatinannya atas sikap JPU yang telah menuntut Terdakwa J.Rusna dengan tuntutan yang sangat ringan, tanpa mempertimbangkan kondisi korban yang mengalami kekerasan baik itu secara fisik maupun psikis.

JPU tidak mempertimbangkan keadilan bagi korban dan juga keluarga korban yang terkena dampak yang sangat besar karena peristiwa yang dialami oleh korban.

"Selain itu Sara menyampaikan harapannya, agar ke depan APH dapat menggunakan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang sebagai rujukan dalam menangani perkara perdagangan orang," ujar Politisi Gerindra ini.

Di tempat terpisah, Gabriel Goa (Direktur Padma), yang merupakan Ketua Bid. Advokasi JARNAS juga menyampaikan keprihatinannya atas Tuntutan JPU pada kasus tersebut. Kondisi ini menggambarkan ketidakdilan hukum bagi masyarakat miskin, dan hukum terkesan hanya milik kelompok tertentu saja.

Gabby mengatakan, bahwa seharusnya penegakan hukum tidak hanya menajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. JARNAS akan mendukung langkah yang telah dilakukan oleh kawan-kawan aktivis Human Trafficking yang ada di Batam untuk meminta dukungan dari berbagai pihak di tingkat nasional dan meminta kepada Mahkammah Agung untuk memutuskan perkara ini dengan mempertimbangkan aspek keadilan bagi korban.

"JARNAS meminta dan mendesak Jaksa Agung RI, untuk mencopot Kejati Kepri dan KAJARI BATAM serta menindak tegas dan memproses hukum JPU pada perkara tersebut, kedua, mendesak KPK RI, Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung untuk segera melakukan pengawasan kepada Pengadilan Tinggi Kepri, PN Batam dan Majelis Hakim pada perkara ini, Selain itu JARNAS juga kan meminta dukungan dari berbagai lembaga untuk melakukan pengawasan pada proses putusan perkara ini. Hal ini agar tercapainya azaz persamaan hak di muka hukum (equality before the law) dapat tercapai," tegasnya. (Uli)