Indolinear.com, Jakarta - International Telecommunication Union (ITU) bersama United Nations University (UNU), pernah meneliti tentang jumlah e-waste atau sampah elektronik meningkat. Sampah elektronik ini meliputi baterai atau colokan termasuk ponsel, laptop, televisi, lemari es dan mainan listrik.

Berdasarkan datanya itu, pada tahun 2016, 44,7 juta metrik ton e-waste dihasilkan, naik 3,3 juta metrik ton (8 persen) dari 2014. Dan hanya sekitar 20 persen - atau 8,9 juta metrik ton - dari semua e-waste didaur ulang pada tahun yang sama.

Meningkatnya sampah elektronik, kata Direktur Utama PT Arah, Gufron Mahmud dilatarbelakangi banyak masyarakat yang belum paham akan bahaya limbah B3 yang mereka hasilkan.

Dengan semakin masifnya penggunaan perangkat teknologi seperti ponsel, gadget dan perangkat elektronik lainnya, maka dampak yang dihasilkan adalah limbah B3 yang dihasilkan semakin banyak.

"Masyarakat juga masih banyak yang membuang baterai bekas, lampu bekas, tinta cartridges bekas, dan sampah elektronik lainnya ke dalam satu wadah bersama sampah bekas makanan atau sampah plastik," jelasnya di Jakarta, dilansir dari Merdeka.com (03/03/2019).

Padahal, lanjutnya, sampah harus dipilah pembuangannya untuk kemudian masing-masing jenis sampah dikelola dengan treatment yang berbeda.

"Di sisi lain, ada masyarakat yang sudah paham bahayanya namun mengalami kesulitan bagaimana menanganinya," terangnya.

Senada dengan Isnawa Adji, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta. Menurutnya, permasalahan terkini yang ada di Indonesia tentang limbah B3 termasuk juga limbah eletronik adalah minimnya pengetahuan tentang bahaya yang ditimbulkan serta kurang tepatnya penanganan dalam hal pengelolaan.

"Karenanya, kehadiran solusi ECOFREN kami harapkan dapat turut membantu program pemerintah untuk mengelola limbah B3 termasuk limbah eletronik atau e-waste dengan baik dan benar," kata dia. (Uli)