Indolinear.com, Boyolali - Seribuan orang warga di lereng Gunung Merapi tepatnya Desa Sukabumi, Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, mengikuti upacara tradisi "Sadranan" yang digelar setiap tahun menjelang Bulan Puasa.

Warga Desa Sukobumi sebelum mengikuti upacara ritual sadranan, sejak pagi sudah datang di tempat pemakaman umum Puroloyo di Desa Sukabumi untuk melakukan gotong royong bersih-bersih makam leluhurnya.

Warga kemudian bersama sanak saudaranya kemudian datang kembali ke tempat pemakaman dengan membawa tenong berbentuk bundar berisi beranekan ragam makanan untuk disedekahkan sesama masyarakat usai upacara sadranan.

Mereka berkumpul bersama di halaman tempat pemakaman berdoa dengan dipimpin oleh Kiai Haji M Suparno juga seorang tokoh masyarakat desa setempat untuk mendoakan para leluhur yang dimakamkan di tempat itu. Setelah itu, warga kemudian membuka tenong yang berisi keaneka ragam jenis makanan untuk dibagikan ke masyarakat.

Menurut Ustad Suparno selaku tokoh masyarakat Desa Sukabumi upacara ritual sadranan merupakan agenda tahunan yang dilakukan masyarakat setiap menjelang Ramadhan. Mereka yang merantau ke daerah lain pulang kampung untuk menyempatkan hadir mengikuti upacara sadranan.

"Warga mendoakan para leluhur dan bersyukur atas limpahan kemakmuran dari Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan," kata Suparno.

Suparno mengatakan pada zaman dahulu tradisi sadranan sebagai cara berdakwah Walisongo. Para wali mengutus muridnya yang bernama Kiai Haji Ibrahim ke daerah Lereng Merapi. Beliau kemudian dimakamkan di tempat pemakaman umum Puroloyo desa setempat.

Suparno mengatakan adanya tradisi sadranan tersebut memiliki rasa persatuan dan kegotong royong, serta salah satu modal yang tidak bisa dinilai harganya, sehingga masyarakat melestarikan hingga sekarang.

Menurut Suparno tradisi sadranan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan terutama soal kesejahteraan masyarakat semakin baik. Jumlah tenong yang dibawa oleh masyarakat sebanyak 830 tenong, dan isinya juga semakin bernilai.

"Zaman dahulu tenong yang dibawa amsyarakat berupa anyaman bambu, dan sekarang sudah banyak yang dari bahan stenlis yang harganya mahal. Bahkan, isi tenong dahulu berupa hasil bumi, sekarang makanan yang memiliki kualitas giri tinggi," kata Sutarno dikutip dari Aktual.com, Jumat (23/2/2018).

Menurut dia, hal tersebut dapat dikatakan masyarakat sudah semakin baik kehidupannya dan hasil bumi mereka juga sudah berhasil baik atau melimpah. Warga selain membawa tenong dengan isi makanan seharga sekitar Rp200 ribu hingga Rp300 ribu, juga setiap pintu rumah terbuka untuk menyambut tamu-tamu yang bersilatuhrahmi.

"Warga mengeluarkan semua hidangan untuk menyambut tamu yang hadir di rumahnya, dan mereka selalu menjaga kebersamaan dan gotong royong yang dilaksanakan untuk kehidupan sehari-hari," katanya Camat Cepogo Agus Darmawan mengatakan kegiatan upacara tradisi sadranan tersebut memberikan semangat kehidupan dalam bekerjaaan masing-masing. Sadranan yang tidak bisa dinilai Ukhuwah Islamiah, rasa persatuan, dan gotong royong menjadi modal mereka.

Oleh karena itu, warga selalu menjaga dan melestarikan melalui kegiatan sadranan yang dilaksanakan setiap menjelang Ramadhan.

Selain itu, pihaknya menangkap potensi-potensi di Cepogo sangta hebat tremasuk sumber daya manusia (SDM), sehingga kegiatan itu, dapat dikemas dengan moment kirab budaya, promosi pariwisata melalui kesenian untuk 15 desa di kecamatan ini.

Joko salah satu warga Dukuh Tunggulsari, Desa Sukabumi mengatakan masyarakat warga Sukabumi yang bekerja di daerah lain mereka akan pulang untuk mengikuti sadranan yang digelar setiap tahun ini.

Joko mengatakan setelah mengikuti upacara sadranan warga pulang ke rumah masing-masing untuk menyiapkan sajian berbagai macam makanan untuk menyamu tamu yang melakukan silaturahmi ke rumahnya.

"Jika banyak tamu yang berkunjung ke rumahnya, warga yakin akan banyak juga rejekinya," kata Joko. (Gie)