Indolinear.com, Jakarta - Ketua Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Hendrisman Rahim menjelaskan, bahwa saat ini posisi asuransi jiwa Indonesia di dunia berada pada peringkat 74. Di sisi lain, total premi yang dikoreksi dari asuransi jiwa Indonesia berada pada peringkat 33 dunia.

Hendrisman berharap peringkat Indonesia dapat terus ditingkatkan. Salah satunya adalah melalui digitalisasi asuransi. Usai acara 'Seminar dan Eksebisi Digital and Risk Management in Insurance (DRiM) di Nusa Dua, Bali, ia melanjutkan, AAJI memiliki 63 anggota.

"Semua sudah mengarah kepada digitalisasi. Industri asuransi yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang jualan menggunakan perangkat digital belum ada," ujar Hendrisman, Kamis 22 Februari 2018.

Menurutnya, digitalisasi asuransi akan membuat bisnis ini berjalan semakin efisien. Hanya saja, ia mengakui digitalisasi asuransi rentan risiko. Apalagi, OJK belum memiliki aturan mengenai pemasaran asuransi secara online.

"OJK bilang seksrsng jualan saja dulu secara online tapi tetap lapor kepada mereka. Nah, seksrwng pertanyaannya apakah sudah ada yang jual secara online, saya katakan sudah ada," papar dia dikutip dari Aktual.com, Jumat (23/2/2018).

Sementara itu, secara offline pemasaran asuransi tetap akan dilakukan. Target yang telah dicanangkan pada dua tahun lalu yakni 10 juta agen akan terus berjalan. Ia yakin keduanya akan berjalan beriringan. Sebab, kata dia, masyarakat Indonesia memiliki keunikan tersendiri dalam membeli asuransi.

"Jadi, meski sudah memasuki era digital namun peran agen saya punya keyakinan belum bisa hilang hingga 5-10 tahun ke depan. Karena budaya kita di Indonesia unik. Orang membeli asuransi karena hubungan emosional," papar dia

Ia berharap industri asuransi aware terhadap digitalisasi. Menurutnya, untuk mengembangkan usaha mereka maka digitalisasi mrupakan hal yang harus dihadapi dan ditangani dengan segera.

"Kita ini sebetulnya sudah aware kok. Di peusahaan sudah berlomba-lomba menyiapkan teknologi, misalnya database yang bagus atau agar mereka bisa dihubungi secara online," papar dia.

Ia berharap dengan masuk ke era digital industri asuransi semakin terbuka pada masyarakat dan semakin mendekatkan diri dengan pasar. Ia membandingkan keuntungan sistem digital dengan keharusan membangun kantor cabang di seluruh Indonesia.

"Berapa cost-nya kalau membangun kantor cabang di Indonesia. Keuntungan digital karena ada 200 juta penduduk Indonesia sudah melek internet. Mereka sudah punya mobile smartphone. Jadi, jauh lebih efisien untuk mendekatkan industri ini dengan pasar," katanya.

Ketua Panitia DRiM, Christine Setyabudi berharap acara yang diikuti 500 peserta ini dapat menumbuhkan percepatan kesadaran berasuransi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Ia melanjutkan, dari sisi industri sendiri, persiapan dalam penerapan transformasi digital masih perlu ditingkatkan.

Hal ini merujuk pada data dari The Microsoft Asia Digital Transformation: Enabling The Intelligent Enterprise yang menyebutkan bahwa sebanyak 90 persen pebisnis di Indonesia menyatakan perlunya melakukan transformasi digital untuk mendukung pertumbuhan perusahaan.

"Namun dari jumlah tersebut, hanya 27 persen di antaranya yang mengaku sudah mempunyai strategi yang menyeluruh guna menyambut transformasi digital," demikian Christine. (Gie)