Indolinear.com, Melbourne - Saat masih kecil Thomas Watson, seorang warga Australia, mendengar bahwa neneknya selamat dari kengerian kehidupan sebuah kamp tahanan perang.

Tapi, seperti banyak orang lain yang mengalami hal serupa dalam Perang Dunia II, sang nenek tidak pernah membicarakan pengalamannya itu.

Cobaan berat sang nenek bernama Yvonne Watson (sebelumnya bernama Yvonne Holman) itu sebagian besar diselimuti misteri.

Yvonne menghabiskan empat tahun tawanan bersama dengan ribuan warga sipil Belanda lainnya yang dipenjara saat Indonesia jatuh ke tangan Jepang pada tahun 1942.

"Saya tahu bahwa dia selamat dari sebuah kamp konsentrasi yang dikelola Jepang di Indonesia, yang waktu itu masih Hindia Belanda, dan pengalamannya itu sangat keras," kata Thomas Watson, seperti dikutip dari Liputan6.com (22/03/2018).

Thomas tidak banyak tahu hal lainnya, tapi tetap membawa keingin-tahuannya itu hingga ia dewasa.

Setelah kematian neneknya pada tahun 2013, Thomas bekerja sama dengan pembuat film Jean-Baptiste Breliere untuk membuat film dokumenter tentang pengalaman Yvonne. Dokumenter itu berjudul The World Ended on Mango Street.

"Nenek saya dipenjarakan di gubuk kecil dengan sekitar 15 wanita lainnya terletak di Jalan Mangga Nomor 7," kata Thomas.

"Seluruh hidupnya yang dia sadari di Indonesia benar-benar berakhir di Jalan Mangga - dari situlah judul ini berasal," jelasnya.

Produksi film tersebut telah membuat Thomas menempuh pencarian emosional dalam mengungkap kisah neneknya yang selamat dari kelaparan dan penyakit di kamp tawanan, dan hidup sampai usia 92 tahun.

Ketika Jepang menyerbu Hindia Belanda pada tahun 1942, Yvonne Holman muda masih sekolah untuk menjadi seorang pengacara.

"Jepang datang dan langsung memerintahkan semua keluarga Belanda untuk dievakuasi. Mereka dikirim ke tempat yang mereka sebut sebagai kamp tahanan tapi sebenarnya lebih berupa kamp konsentrasi," kata Thomas.

Lembaga Australian War Memorial memperkirakan sekitar 130.000 warga sipil dari negara sekutu diasingkan oleh Jepang selama masa pendudukan mereka di Hindia Belanda, termasuk warga sipil Amerika, Inggris dan Australia.

Thomas percaya sebagian besar bukti tentang apa yang terjadi di kamp-kamp tersebut kini telah hancur.

"Banyak bangunan telah hancur dan banyak saksi tangan pertama sudah meninggal atau hilang," katanya.

Namun, dia masih memiliki catatan tangan pertama tentang pamannya, Robert Holman, yang masih berusia 10 tahun saat terpisah dari ibunya. Robert dipenjara di sebuah kamp pria di Semarang.

Sang paman ini juga ditampilkan dalam film dokumenter tersebut.

Pembuat dokumenter ini menemui Robert yang kini berusia 87 tahun dan tinggal di Belanda.

"Prinsipnya itu merupakan metode pembunuhan pelan-pelan dengan membuat anak 12 tahun kelaparan, proses penghinaan yang sempurna," kata Thomas Watson.

"Dia mengatakan selalu terjadi pemukulan, kelaparan, bahkan banyak pengkhianatan antara tawanan, bukan karena kejahatan apapun, tetapi semata-mata karena sangat putus asa. Mereka tidak memikirkan apa-apa selain diri sendiri," jelasnya.

"Tak terbayangkan sakitnya karena dia adalah paman saya," katanya.

"Orang meninggal atau sering mengalami trauma sehingga bukanlah keajaiban kecil bahwa seluruh keluargaku bisa selamat," kata Thomas lagi.

Yvonne bukan hanya bertahan dan selamat, dia berhasil mengubur traumanya dan memulai kehidupan baru di Australia. (Uli)