Indolinear.com, Jakarta – Setiap Negara punya sistem kepemiluan yang berdeda-beda. Di Indonesia sendiri secara konstitusional telah diatur berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Bab VIIB pasal 22E tentang pemilu, yang telah diturunkan lewat Undang-Undang kepemiluan seperti Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 (sedang berlaku sekarang).

Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah faktor utama yang memengaruhi sejarah perjalanan politik serta pola pikir masyarakat Indonesia. Tapi seiring perkembangan zaman dengan pengaruh globalisasi juga telah mengikis nilai-nilai pancasila yang merupakan karakter bangsa Indonesia, dimana masyarakat yang semakin tidak peduli atau bisa dikatakan apatis terhadap keadaan Negara.

Demikian disampaikan Anggota MPR RI dari Fraksi Gerindra Novita Wijayanti di hadapan konstituennya di Aula Desa Karang Kemiri Cilacap Jawa Tengah pada, dilansir dari Kabarparlemen.com (25/01/2019).

Novita menjelaskan, bahwa budaya persatuan antar sesama warga Negara seakan hampir tidak terlihat khususnya di pemukiman kompleks perumahan kota-kota besar, bahkan tetangga pun sudah tidak saling mengenal. Keadaan ini seharusnya menjadi contoh kasus krusial yang harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah sebagai penyelenggara Negara. Sebab ini akan berefek pada tingkat pola pikir masyarakat Indonesia yang tidak lagi akan peduli pada tujuan Negara Indonesia khususnya dalam prinsip persatuan dan kesatuan sebagai bangsa.

Sikap individual yang menjadi kebiasaan pada akhirnya bisa menjadi sebuah budaya dari seseorang akan sangat membahayakan bagi Negara Indonesia ketika setiap warganya yang terhipnotis dengan sikap atau pola pikir tersebut yang secara keterkaitan akan tidak adanya lagi kerjasama baik dalam informasi maupun dalam berbagai hal kebersamaan atau biasa disebut gotong royong.

" Pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang kurang peduli akan prinsip berdemokrasi seakan membiarkan setiap proses penyelenggaraan Negara khususnya dalam penyelenggaraan kepemiluan di Indonesia," ujar Novita dalam acara Sosialisasi empat Pilar oleh MPR RI ini.

Kata Novita, dalam hal ini masih banyak ditemukan masyarakat yang kurang paham mengenai proses dan tahapan pemilu di Indonesia. Sehingga masih ada masyarakat yang belum mendapat hak pilih seperti yang terjadi di beberapa kasus pemilu yang lalu. Ini artinya prinsip demokrasi Pancasila belum berjalan dengan baik, karena yang seharusnya rakyatlah yang diutamakan tapi seakan rakyat hanya sebagai alat untuk dimainkan oleh kepentingan politik seseorang atau kelompok.

Dengan adanya masalah-masalah tersebut maka peran penyelenggara pemilu menjadi faktor penting dalam keberhasilan serta kemajuan Negara dalam prinsip berdemokrasi.

Asas kepemiluan seperti yang tertuang dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 adalah kewajiban bagi penyelenggara pemilu untuk dapat mengejawantahkannya.

" Jika disandingkan dengan prinsip berdemokrasi pancasila maka wajib bagi setiap penyelenggara pemilu untuk melayani rakyat baik itu dia yang dipilih (calon) maupun mereka yang memilih(pemilih)," tegas anggota Komisi V DPR RI ini.

Novita pun menganalisis beberapa persoalan yang terjadi khususnya dalam konteks demokrasi pelayanan kepemiluan, dengan menyandingkan konsep pelayanan publik. Kondisi ini dapat dibedah, dimana persoalan utamanya ada pada pemenuhan kebutuhan masyarakat yang belum maksimal sesuai standarisasi yang seharusnya. Kebutuhan akan pelayanan tersebut, akan sangat memengaruhi hasil dari pada pemilu karena objek utama dari pemilu itu sendiri adalah masyarakat secara umum.

" Dengan mengacu pada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang 7 tahun 2017 tentang Pemilu, maka diwajibkan dan diharuskan bagi setiap penyelenggara pemilu untuk dapat mengejawantahkan konsep dan peraturan tersebut secara maksimal sehingga prinsip demokrasi pancasila yang berbasis pelayanan publik tersebut dapat terjadi," ujarnya.

Lebih lanjut Novita menjelaskan, bahwa berdasarkan pasal 22E Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil).

Langsung, disini menunjukan bahwa rakyat memilih wakilnya secara langsung sesuai dengan hati nuraninya tanpa perantara.

Dan Umum disini berarti bahwa semua warga negara yang sudah memenuhi persyaratan untuk memilih berhak mengikuti Pemilu. Kesempatan memilih ini berlaku untuk semua warga negara tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, dan lain-lain.

Sementara bebas mengandung arti setiap warga negara bebas menentukan pilihannya tanpa ada tekanan atau paksaan dari siapapun juga.

Dan Rahasia, bermakna dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun.

" Begitu pula azas jujur ini menekankan bahwa setiap penyelenggara pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih serta semua pihak yang berkaitan harus bersikap dan bertindak jujur. Serta konsep pemilu yang Adil, bahwa dalam penyelenggaraan pemilu setiap peserta dan pemilih mendapat perlakuan yang sama sesuai dengan peraturan yang berlaku," tegasnya.

Makna sila ke empat Pancasila yang menyiratkan adanya sistem demokrasi, kata Novita, kalau diperinci lebih dalam dan lebih luas lagi, maka unsur-unsur demokrasi , kerakyatan, permusyawaratan dan kedaulatan rakyat.

" Menurut Drs. Kaelan bisa diformulasikan bahwa arti yang terkandung dalam pengertian "kerakyatan" adalah bersifat cita-cita kefilsafatan, yaitu bahwa negara adalah untuk keperluan rakyat. Oleh karena itu maka sifat dan keadaan negara harus sesuai dengan kepentingan seluruh rakyat. Jadi "kerakyatan" pada hakekatnya lebih luas pengertiannya dibanding dengan pengertian demokrasi, terutama demokrasi politik," ujarnya.

Sementara pengertian demokrasi pada hakekatnya terikat dengan kata-kata permusyawaratan/perwakilan. Hal ini sesuai dengan rumusan yang terdapat dalam sila keempat Pancasila. Dengan demikian ini merupakan suatu cita-cita kefilsafatan demokrasi. Terutama dalam kaitannya dengan demokrasi politik, karena cita-cita kefilsafatan demokrasi politik ini, merupakan syarat mutlak bagi tercapainya maksud kerakyatan.

Adapun dalam pengertian "kerakyatan" terkandung pula cita-cita kefilsafatan demokrasi sosial-ekonomi. Demokrasi sosial -ekonomi adalah untuk pelaksanaan persamaan dalam lapangan kemasyarakatan (social) dan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraaan bersama dengan sebaik-baiknya. Adapun untuk mencapai kesejahteraan sosial-ekonomi tersebut harus dengan syarat demokrasi politik.

" Dengan demikian maka dalam sila keempat senantiasa terkandung dasar bagi cita-cita kefilsafatan yang terkandung dalam sila ke lima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia'," pungkasnya. (Uli)