Indolinear.com - Saya sudah beberapa kali mengunjungi Sumatera Utara, khususnya kota Medan. Berkali-kali mengunjungi kota yang terkenal akan Istana Maimun, baru pada kunjungan di tahun 2016 ini saya mendengar mengenai batik Sumatera Utara.

Rasa penasaran akan motif dan coraknya, membawa saya ke jalan Letda Sujono, Gang Pejuang, Medan.

"Mau bertemu siapa?" sapa seorang pemuda ramah.

Saat berusaha menjelaskan kedatangan saya yang ingin melihat batik Sumut dan mewawancarai pembuatnya, seorang wanita lanjut usia seketika hadir di antara kami.

"Saya Nurcahaya Nasution. Pemilik tempat pelatihan ini. Di sini kami membuat dan menjual batik Batak," kata sang pemilik.

Bisnis pensiunan

Nurcahaya membawa saya ke sebuah ruangan tempat dua lemari berada untuk menyimpan kain-kain batik.

Lemari-lemari tersebut dibagi dalam empat kompartemen, pada satu lemari contohnya tertulis 'Batak Toba'. Lalu ada pula tulisan 'Batak Simalungun', 'Batak Karo' dan 'Nias'.

"Saya tidak sengaja memulai ini. Awalnya cuma iseng-iseng," jelas Nurcahaya.

Sekitar tujuh tahun yang lalu, Nurcahaya pensiun dari pekerjaannya sebagai seorang pegawai negeri sipil di Dinas Kesehatan.

Karena merasa bosan tidak memiliki kegiatan, Nurcahaya kemudian mengikuti pelatihan membatik dan ketika belajar masih dengan motif Jawa.

Menang lomba

''Atas usul orang, 'Bu, buat bu, motif Sumatera Utara', dan kebetulan saya membuka pelatihan ini setelah menang lomba di Bandung," kenang Nurcahaya.

Maka mulailah Nurcahaya membuat motif-motif sesuai etnis-etnis yang ada di Sumatera Utara.

Hal ini tidak mudah, mengingat Sumatera Utara sebelumnya tidak mengenal budaya batik.

Batik Sumut, atau terkadang juga disebut batik Batak, adalah kreasi Nurcahaya.

Untuk membuat motif-motif tersebut, Nurcahaya mempelajari etnis-etnis yang ada di Sumatera Utara dari buku-buku.

"Dari situlah mula-mulanya, sehingga sudah kita lihat 'Oh kalau Toba begini rupanya motifnya, kalau Karo seperti ini.' Kita coba-cobalah, satu-satu ke batik tulis," paparnya.

Kini dia sudah mempunyai pelanggan tetap, seperti instansi pemerintah daerah yang memesan bajunya untuk dijadikan seragam.

Namun Nurcahaya mengaku ingin agar batik Sumatera Utara dikenal ke seluruh Indonesia.

Toko suvenir Sumatera Utara

Perjalanan saya ke Medan kali ini memang membuka mata terhadap hal-hal baru.

Selain berkenalan dengan Nurcahaya, saya mendapatkan informasi bahwa kini kota Medan mempunyai toko yang menjual oleh-oleh khas Sumatera Utara.

Rumah ulos namanya, yang baru diresmikan bulan Desember 2015 silam.

Berbentuk seperti rumah adat suku Batak, Rumah Ulos di Jalan AR Hakim, Medan, menjual aneka kerajinan khas Sumatera Utara seperti dompet, tas dan gantungan kunci.

Pemiliknya, Robert Sianipar, sebenarnya seorang pengusaha kain khas suku Batak, ulos.

"Saya punya pabrik ulos. Tidak jauh dari sini. Tapi di dalam gang," kata Robert saat saya berjumpa dengannya di Rumah Ulos.

Dibonceng motor, Robert mengantar saya ke pabrik ulos miliknya yang memang berada di dalam sebuah gang namun mampu menampung sekitar 1.000 pengrajin ulos.

Kain ulos

Berawal dari bisnis keluarga, Robert Sianipar sejak muda tertarik untuk merancang ulos dan menyulapnya menjadi barang-barang lain seperti tas dan tempat pensil.

Namun dia menilai, kala itu belum ada usaha yang pasti untuk memasarkan ulos maupun memperkenalkannya kepada para wisatawan. Para turis harus pergi ke luar kota Medan seperti daerah Balige -sekitar empat jam dari Medan- untuk melihat cara pembuatan ulos maupun membelinya.

Hal itu yang membuat Robert makin mantap untuk melestarikan ulos. Dia pun mulai menggeluti bisnis ini pada tahun 1992.

''Ulos yah, dalam bahasa Batak berarti kain yang disematkan ke badan. Dan ulos ini dibuat dengan berbagai arti.

"Jadi kalau di kita orang Batak, ulos itu dulunya dibuat untuk adat. Jadi mulai dari pernikahan, sampai dari kematian dan kelahiran itu semua ada artinya dan jenis-jenisnya," tutur Robert.

Warna khas suku Batak, jelas Robert, adalah merah, putih dan hitam.

Modifikasi

Oleh karena itu warna-warna tersebut yang umumnya digunakan untuk kain ulos.

Dewasa ini ulos bisa dimodifikasi penggunaannya sehingga warna dan motifnya pun dapat disesuaikan dengan keinginan pelanggan.

"Tapi kalau untuk yang menikah, biasa kita kasih warna yang meriah yah. Kemerah-merahan, biru atau warna yang menyalalah. Kalau untuk kemalangan biasanya warna gelap seperti hitam dan biru tua," katanya.

Untuk menjalani bisnis dan toko suvenir, dibutuhkan dana hingga miliaran Rupiah.

Namun Robert bersyukur bahwa usahanya tersebut dibantu oleh Bank Indonesia dan juga Pemprov Sumut.

Sebab selain diharapkan dapat menjadi ikon baru dari kota Medan, baik usaha Robert maupun Nurcahaya Nasution adalah upaya untuk melestarikan dan mempromosikan budaya suku Batak dan etnis Sumatera Utara lainnya. (uli)

 

Sumber: Bbc.com