Indolinear.com - Pulau Mandolokang (Tagulandang) merupakan sebuah pulau di Kabupaten Sitaro, Provinsi Sulawesi Utara. Pulau yang indah dan kental nuansa adat budayanya ini dihuni mayoritas masyarakat dengan Etnis Sangihe.

Kata "Mandolokang" sendiri merupakan sebutan yang berarti "tempat persinggahan". Pulau ini memang mempunyai dua tempat persinggahan kapal yang terletak di Kampung Buhias dan Kampung Minanga.

Sebagian besar penduduk setempat bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Sedangkan sektor perdagangan didominasi oleh para pendatang yang berasal dari Solo dan Makassar. Pulau Mendolokang memiliki tiga kecamatan yakni Tagulandang Induk, Tagulandang Utara dan Tagulandang Selatan.

Adat istiadat dan kebudayaan di pulau ini masih sangat kental. Setidaknya, ada tiga tradisi paling menonjol dan fenomenal yakni tradisi Tulude, Muliku Wanua, dan Baku Piara. Berikut ulasannya.

Tulude

Tulude ialah tradisi yang kental dengan nilai spiritual dan kebudayaan leluhur yang agung. Tulude berasal dari kata suhude (Bahasa Sangir) yang berarti "menolak" atau "mendorong".

Upacara Tulude bertujuan menolak untuk terus bergantung pada apa-apa yang terjadi pada masa lalu, demi menyongsong tahun dan kehidupan baru. Tulude secara modern mungkin bisa dipadankan dengan istilah move on, merelakan semua hal di masa lalu untuk segera menyongsong hal baru.

Acara Tulude dimulai dengan penyambutan kedatangan bupati dan rombongan oleh tetua adat setempat diiringi tarian budaya. Dilanjutkan dengan prosesi Muhiang Sake, pemotongan kue adat Tamo (Manuwang Kalu Tamo), sambutan oleh tokoh adat (Manahulending Wanua), Sasasa, serta Saliwang Wanua yang berlangsung dalam bahasa etnis Sangihe dengan dialek sub etnis Tagulandang. Inti dari kegiatan ini adalah ucapan syukur dan permohonan pada Tuhan agar senantiasa diberi pertolongan dan perlindungan.

Rangkaian acara Tulude tidak berhenti dalam satu malam. Namun dilanjutkan pada malam berikutnya yakni acara menari empat wayer (tari berpasangan masing-masing dua orang)  selama semalam suntuk.

Tarian ini dilakukan sebagai wujud suka cita masyarakat untuk menyambut tahun baru. Makna pelaksanaan ritual adat ini ialah memahami bahwa tahun yang telah berlalu telah menjadi masa lalu. Pahit manisnya, tetap harus disyukuri sehingga kita tidak perlu menenggok lagi ke belakang. Untuk kemudian bisa ringan untuk berpindah ataumove on ke tahun yang baru.

Muliku Wanua

Muliku Wanua artinya berkeliling pulau, yang merupakan tradisi berjalan kaki mengelilingi Pulau Mandolokang. Tradisi tersebut berawal pada suatu perayaan tahun baru di masa lalu. Mereka melakukannya dengan maksud menjalin silaturahmi dengan para kerabat maupun leluhur penduduk Pulau Mandolokang dengan berjalan kaki dari satu desa ke desa lainnya.

Peserta kegiatan ini dibagi menjadi regu-regu yang berjumlah sembilan orang. Setiap regu diperkenankan mengenakan kostum atau properti unik. Sedangkan aturan mainnya ialah peserta diharuskan berjalan kaki sekitar 35 kilometer tanpa bantuan kendaraan. Tidak hanya berjalan, ada beberapa pos penilaian.

Salah satu pos yang ada adalah pos masamper (bernyanyi). Dalam pos ini, regu diminta menampilkan nyanyian semacam grup vokal disertai tarian-tarian sekreatif mungkin. Sementara para peserta beraksi, panitia akan mengisi form penilaian. Regu dengan nilai terbaik berhak mendapat piala dan hadiah dari panitia acara.

Baku Piara

Istilah ini dapat diartikan sebagai "berpelihara" yaitu suatu kebiasaan yang ada di masyarakat Pulau Mandolokang. Pada prosesi ini laki-laki dan perempuan yang tidak ada ikatan persaudaraan berkumpul dalam satu rumah.

Keduanya menjalani kehidupan layaknya suami istri. Hal ini dinilai sah di kalangan masyarakat Pulau Mandolokang. Bahkan, ada dari mereka menjalaninya hingga memiliki anak cucu.

Kebiasaan Baku Piara ini sudah terjadi sejak lama dan diwarisi secara turun-temurun hingga saat ini. Meski tidak dilarang dalam masyarakat, namun kebiasaan Baku Piarasecara tersirat disarankan tidak dilakukan oleh agama setempat.

Larangan tersirat itu salah satunya diwujudkan dengan tidak diperbolehkannya seseorang yang melakukan Baku Piara untuk mengikuti perjamuan.

Nama anak yang dilahirkan dari Baku Piara mengikuti marga dari ibunya, bukan seperti lazimnya yang mengikuti marga sang ayah. Usai keduanya mendaftar resmi di catatan sipil, maka nama anak tersebut barulah mengikuti marga ayah.

Sebenarnya, ada beberapa alasan yang membuat masyarakat melakukan Baku Piaradan tidak menikah. Salah satunya ialah lantaran tidak disetujui oleh pihak keluarga, atau biasa juga terkendala dana pernikahan. (uli)

 

Sumber: Okezone.com